Sabtu, 14 September 2013

Tanbīh al-Māsyī: Menyoal Wahdatul Wujud Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17

(Oman Fathurahman. 1999. Tanbīh al-Māsyī: Menyoal Wahdatul Wujud Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17 (Bandung: Mizan-EFEO Jakarta). Cet. I, 206 halaman).

Buku ini merupakan edisi cetak dari tesis Oman Fathurahman pada Program Studi Ilmu Susastra, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, akhir 1998. Edisi tesis dari buku ini berjudul Tanbīh al-Māsyī al-Mansūb ilá Ṭarīq al-Qusyāsyiyy: Tanggapan as-Sinkili terhadap Kontroversi Doktrin Wujudiyyah di Aceh pada Abad XVII (Suntingan Teks dan Analisis Isi).

Tanbīh al-Māsyī merupakan salah satu karya Syaikh Abdurrauf as-Sinkili. Karya-karya Abdurrauf Singkel menurut pengakuannya sendiri sebagian besar berbahasa Arab, karena setelah 19 tahun ia di Arab, ia merasa tidak lagi fasih berbahasa Melayu (Fathurahman, 1999: 33). Namun fakta yang dihasilkan hingga saat ini, sebagian besar naskah yang diketemukan berbahasa Melayu. Karena itu, kajian Fathurahman ini merupakan “pesan” tersendiri karena naskah Tanbīh al-Māsyī ditulis dalam bahasa Arab.

Ketika menanggapi kontroversi doktrin wahdatul wujud, menurut Abdurrauf kita harus berhati-hati, karena hal ini berkaitan dengan masalah tauhid. Tauhid menurut as-Sinkili adalah “mengaitkan sifat Esa dengan Tuhan, bukan menjadikan Tuhan Esa. Karena sifat Esa bagi Tuhan adalah sesuatu yang telah melekat pada dzat-Nya, bukan diberikan oleh pihak lain (Fathurahman, 1999: 43-44). Terdapat empat tingkatan tauhid yaitu tauhid uluhiyyah (mengesakan ketuhanan Allah), tauhid af’al (mengesakan perbuatan Allah), tauhid sifat (mengesakan sifat-sifat Allah), dan tauhid dzat (mengesakan dzat Allah) (Fathurahman, 1999: 45).

Meskipun Abdurrauf tidak berbeda pendapat dengan Hamzah Fansuri dalam hal penciptaan alam, yakni bahwa alam tidak diciptakan dari tiada menjadi ada (creation ex nihilo), melainkan alam diciptakan dari rahmat Allah –Allah menciptakan alam berdasarkan “pengetahuannya” (emanasi) pada zaman azali secara tertib. Namun, alam bagi Abdurrauf tidak benar-benar identik dengan Tuhan (dalam dzatnya dan keabadiannya). Pun jika identik, maka itu terjadi hanya pada zaman azali; bagaimanapun “bayangan” (dimaksudkan alam + manusia) tidak benar-benar sama dengan benda aslinya (Fathurahman, 1999: 45-46.) Abdurrauf pun tidak setuju dengan Hamzah Fansuri dan “pengikutnya” dalam cara ilmu/ajaran ini disebarkan pada khalayak umum. Begitu pula ia menentang cara-cara Nuruddin al-Raniry menyerang pengikut-pengikut Hamzah Fansuri dengan menuduhnya “kafir.” Seraya ia membalik tuduhan itu bahwa jika celaan itu tidak benar, maka dirinyalah (al-Raniry) yang menjadi kafir (Fathurahman, 1999: 63).

Teks Tanbīh al-Māsyī sungguh teramat kaya, tanggapan terhadap wahdatul wujud hanya merupakan satu tema. Selain wahdatul wujud, tema lain yang dikupas adalah maqam-maqam sufi dalam tarekat Syathariyyah (Qusyasyiyyah) –dalam naskah maqam-maqam ini merupakan bagian/tingkatan-tingkatan dari tauhid tingkat akhir (tauhid dzat). Martabat ini (maqam) terdiri dari sepuluh martabat yakni: al-bidāyāt, al-abwāb, al-muʻāmalāt, al-akhlāq, al-usūl, al-audiyah, al-aḥwāl, al-wilāyah, al-ḥaqā’iq dan an-nihāyāt (Fathurahman, 1999: 125). Pada masing-masing martabat terdapat lagi 10 martabat, jadi jumlah keseluruhan 100 martabat. Jumlah keseluruhan martabat ini dijelaskan dari halaman 33-43 pada naskah.

Selain itu, juga ada pembahasan tentang kematian. Menurut Abdurrauf kematian ada dua, yakni mati iḍṭirārī (mati sebagaimana biasanya) dan mati ikhtiyārī (mati fana). Mati ikhtiyari adalah mati dari segala sifat-sifat “kemanusiaan” serta meninggalkan segala keinginan, kehendak, dan hawa nafsu. Mati inilah yang berusaha dicapai oleh para sufi sebelum mereka mati iḍṭirārī.

Tanbīh al-Māsyī juga berisi tuntunan-tuntunan praktis atau amalan-amalan sehari-hari yang dilakukan dan dianjurkan oleh Abdurrauf seperti membaca istighfar, membaca surat Yāsīn, al-Mulk, al-Wāqiʻah, tahlil, al-Fatihah, muʻawwidzatayn, istikhoroh, dan sebagainya sesuai dengan ajaran tarekat Syathariyyah dan Qadiriyyah. Dan masih banyak lagi ajaran-ajaran amaliah dari Abdurrauf, termasuk anjuran untuk menolong sesama yang dalam kesulitan.

(Tulis tangan, Pisangan, 02 Desember 2010 diketik “ulang” di Banda Aceh, 14 September 2013).

Kamis, 29 Agustus 2013

Masjid Agung Al-Istiqomah, Pasar Rebo, Bram Itam Kanan, Bram Itam, Tanjung Jabung Barat

Foto Samping: tampak pintu samping, jendela dan atap tumpang
.
Tampak belakang: mihrab menonjol ke depan dengan atap tumpang
.
Foto depan: Tampak papan nama dan halaman depan kosong
Pemeliharaan terhadap cagar budaya memang sulit untuk dilakukan. Terlebih pada kasus masjid-masjid kuno di Indonesia, seperti juga di Jambi. Hal ini dimaklumi, karena masjid merupakan peninggalan budaya yang tetap hidup (living monument), artinya sejauh masjid tersebut masih digunakan, maka setiap waktu tertentu ketika terjadi kerusakan, masyarakat pengguna masjid menuntut untuk dilakukan perbaikan. Tak ayal perbaikan-perbaikan tersebut kadang tidak mempertimbangkan untuk mempertahankan keaslian bentuk awal masjid, melainkan menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan zaman atau bahkan untuk memenuhi selera “kemegahan”. 

Kasus-kasus tersebut terjadi hampir pada setiap daerah, demikian juga di Jambi. Beberapa masjid kuno di Kota Jambi kini telah/hendak berubah bentuk dalam bangunan yang baru dan “nyaris” tidak ada lagi sisa bangunan lama yang dipertahankan. Kasus tersebut terjadi misalnya di Seberang Kota Jambi pada masjid-masjid yang pernah diteliti oleh Zainuddin dari Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, yaitu Masjid Ikhsaniah Olak Kemang, Masjid Azharussa’adah dan Masjid al-Kaffi, Tahtul Yaman. Demikian juga pada Masjid Darussalam di Muaro Jambi, dan Masjid an-Nur di Kec. Bram Itam, Kab. Tanjung Jabung Barat. Karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyajikan sekilas tentang Masjid al-Istiqomah Pasar Rebo, Kel. Bram Itam Kanan, Kec. Bram Itam, Kab. Tanjung Jabung Barat. 

Masjid al-Istiqomah, merupakan masjid tertua di Tanjung Jabung Barat. Bentuk aslinya masih dipertahankan, meskipun sudah pernah direnovasi. Lokasi Masjid ini berada di Kampung Pasar Rebo, Kelurahan Bram Itam Kanan, Kec. Bram Itam, Kab. Tanjung Jabung Barat. Menurut sesepuh setempat, yang lahir pada tahun 1937, masjid ini sudah ada sejak ia kecil. Di atas mihrab terdapat tulisan “.m-8-1363-2-4-1382 h.” Dugaan awal saya, tulisan ini menandai tahun perbaikan yakni “mulai bulan delapan (Sya’ban 1363 H) (Juli/Agustus 1944 M) hingga selesai pada tanggal dua bulan empat (2 Rabiulakhir 1382 H (2 September 1962 M).” Namun agak meragukan karena berarti perbaikan memakan waktu 18 tahun. Mungkin lebih tepat bahwa masjid ini pernah direnovasi pada tahun-tahun tersebut, yakni 1944 dan 1962. 

Bentuk dasar bangunan masjid ini persegi seperti umumnya masjid-masjid di Jawa (Pijper: 1984: 15), dengan kaki masjid berbentuk panggung. Kaki panggung ini memperhatikan daerah tersebut yang merupakan rawa-rawa, sehingga panggung sangat cocok. Atap masjid ditopang oleh empat tiang utama (sokoguru) dan masih ditopang oleh empat tiang pembantu yang ukurannya lebih kecil dan lebih pendek di belakang tiang sokoguru mengarah ke empat sudut ruangan, tiang tersebut berbahan kayu berbentuk persegi. Masjid beratap tumpang dua, namun atap dasar rapat menempel atap kedua, sehingga nampak tumpang tiga. Pun atap dasar nampaknya hanya untuk menaungi emperan masjid agar lebih lebar. Patut diduga atap paling bawah merupakan bangunan baru yang difungsikan menaungi emperan dan dinding masjid dari sengatan panas matahari dan hujan agar tidak merusak ke dinding masjid. Kaki masjid berukuran 18 x 18 M, sedangkan ruang utama berukuran 15 x 15 M.

Kampung Pasar Rebo atau dengan dialek Arab menyebut Pasar Arba, merupakan tempat kelahiran seorang ulama berpengaruh di TJB yakni Tuan Guru Muhammad Ali Wahab, salah satu pendiri Pondok Pesantren al-Baqiyatush Sholihat Parit Gompong, Kuala Tungkal. Beliau dilahirkan di Pasar Arbaa (Pasar Rebo), Bram Itam, pada 11 Maret 1934 M dari pasangan Tuan Guru Haji Abdul Wahab dan Hajjah Ruqqayah (Tim Memori, 2001). Sangat mungkin Masjid al-Istiqomah telah berdiri sejak 1937 mengingat Tuan Guru Haji Abdul Wahab merupakan juru dakwah Islam di Pasar Rebo. Dan menurut para sesepuh, rumah Tuan Guru Abdul Wahab tidak jauh dari masjid, namun bekasnya kini sudah tidak ada yang tersisa. Setelah menamatkan pelajaran agama dari ayahnya, Ali Wahab merantau untuk menuntut ilmu sejak 1950 ke Kuala Tungkal, Jambi, dan Kalimantan Selatan. Kelak ia menetap di Kuala Tungkal dan menjadi ulama yang cukup berpengaruh di sana. Sebagai pengobat rindu terhadap tempat kelahirannya, masjid yang didirikan di Kuala Tungkal mengambil nama sesuai masjid yang ada di Pasar Rebo, Bram Itam, yakni Masjid al-Istiqomah Kuala Tungkal. Masjid al-Istiqomah Kuala Tungkal didirikan pada tahun 1940 oleh perkumpulan masyarakat Banjar dan Melayu di Tungkal. Sekarang menjadi Masjid Agung al-Istiqomah Kuala Tungkal dan telah direnovasi pada tahun 2002 dengan menelan dana 497 juta (Setiawan, 2012). 

 Bagian-bagian Masjid al-Istiqomah Pasar Rebo terbuat dari kayu, dan seng. Dinding-dinding masjid hampir semuanya terbuat dari kayu kecuali kusen jendela yang dilapisi teralis besi. Pintu masuknya ada empat, sisi depan ada dua dan sisi kanan dan kiri masing-masing satu. Pada masing-masing sisi terdapat dua kusen jendela, dan pada masing-masing jendela terdapat tiga lubang jendela. Diatas lubang jendela terdapat lubang ventilasi berbentuk setengah lingkaran. Pada sisi barat terdapat bangunan menonjol berbentuk persegi yang merupakan mihrab. Pada sisi kiri mihrab terdapat pintu yang tidak dibuka. Di samping kanannya terdapat mimbar khatib cukup sederhana yang dicat warna putih dan abu-abu. Di sisi kanan dan kiri mihrab juga terdapat satu kusen jendela yang masing-masing terdapat tiga lubang jendela lengkap dengan ventilasi. Sedangkan di bagian depan, terdapat tiga kusen jendela dan sembilan lubang jendela. Pada dinding belakang masjid, dekat mihrab, terdapat jam matahari yang sudah tidak berfungsi. Atap dasar, atap tumpang pertama dan kedua menggunakan seng, penggantian dari atap sebelumnya. Di atas atap tumpang kedua terdapat atap kemuncak yang berbahan sirap. Dia atas kemuncak terdapat mustaka. Baik kemuncak maupun mustaka berbentuk piramid, dan ujung atas kemuncak dan mustaka dibuat runcing. Di bawah atap tumpang pertama dan kedua terdapat dinding atap yang terbuat dari susunan lempeng kayu. Pada dinding atap tumpang kedua terdapat lubang untuk memasang pengeras suara. Sedangkan pada dinding atap tumpang pertama di sebelah utara terdapat lubang untuk mengamati keadaan di luar masjid. Di atas bangunan mihrab terdapat satu atap tumpang dan kemuncak, keduanya menggunakan seng. Sedangkan dinding atap tumpang mihrab juga terbuat dari kayu. Pada halaman masjid tidak ada gapura, melainkan papan penunjuk nama masjid.

Jumat, 20 Februari 2009

“Khutbah Terakhir Nabi Saw saat Haji Wada'”

"Ceramah di bawah ini merupakan kutipan hadits Nabi SAW, yakni khutbah Nabi Saw. beberapa hari sebelum ia menemui Kekasihnya (wafat), Allah Swt.. materi ceramah di atas merupakan intisari pengamalan ajaran Islam yang sering diabaikan orang. "Alhamdulillah. Kita memuji Dia dan memohon pertolongan-Nya. Kita beriman dan berserah diri kepada-Nya. Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah. Yang Esa. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Kita bersaksi juga bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejelekan diri kita dan keburukan amal kita. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tidak seorangpun dapat menyesatkannya. Siapa yang disesatkan Allah tidak seorangpun dapat memberinya petunjuk.

Wahai manusia…
Akan nada di kalangan umat ini tiga puluh pendusta (yang mengaku sebagai nabi). Yang pertama di antara mereka adalah orang San’a dan orang Yamamah (Musaylamah).

Siapapun di antara kamu yang menemui Allah dengan membawa kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (kesaksian yang ikhlas dan tidak dicampuri selain itu) pastilah ia masuk surga.

Wahai manusia…
Yang mencemari akidah itu adalah kerakusan pada dunia, mengumpulkan dunia, bukan secara halal, dan bersenang-senang dengan harta yang haram. Termasuk akidah yang tercemar adalah kaum yang berbicara dengan perkataan orang-orang baik, tetapi berperilaku seperti perilaku para tiran.

Wahai manusia…
Siapa yang menghadap Allah dengan tidak membawa hal-hal tersebut sedikitpun, dan mengucapkan la ilaha illallaah, baginya surga. Siapa yang mengambil dunia dan meninggalkan akhirat baginya neraka.

Wahai manusia…
Siapa saja yang membantu permusuhan para penindas dan membantunya untuk melakukan penindasan, maka malaikat pencabut nyawa akan datang membawa berita kepadanya – ia mendapat laknat Allah, kekal di neraka, dan tempat kembali yang jelek.

Wahai manusia…
Siapa yang melangkahkan kaki kepada penguasa yang zalim untuk memenuhi kebutuhannya, ia akan menyertai penguasa itu di neraka. Siapa yang menunjuki kepada penguasa jalan untuk melakukan penindasan, ia akan dihimpunkan bersama Haman (penasihat Firaun). Ia, Haman, dan penguasa yang zalim itu akan mendapat siksa yang paling berat di neraka.

Siapa yang memuliakan pemilik dunia dan mencintainya karena ia mengharapkan dunianya, Allah murka kepadanya. Ia akan ditempatkan di neraka paling bawah bersama Qarun. Siapa yang membangun rumah hanya untuk kemegahan dan kesombongan, maka pada hari kiamat ia akan dibawa ke tujuh petala bumi; kemudian dibelenggu dengan api yang menyala di lehernya dan dilemparkan ke neraka.

Wahai manusia…
Siapa yang membayar upah buruhnya secara zalim (tidak membayar upahnya secara layak), Allah akan menghapuskan seluruh amal salehnya dan ia tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga tercium dari jarak 500 tahun. Siapa yang mengkhianati tetangganya dengan sejengkal tanah saja, ia akan dibelenggu api sampai ke tujuh petala bumi sehingga ia dimasukkan ke neraka.

Wahai manusia…
Siapa yang menikahi seorang perempuan dengan harta yang halal, tetapi karena menginginkan kemegahan dan kesombongan, Allah tidak akan memberinya bekal kecuaali kehinaan dan kerendahan. Sesuai dengan kadar kesenangannya, Allah akan menyuruhnya berdiri di tepian jahanam dan kemudian jatuh ke dalamnya sejauh tujuh puluh kharif (ukuran panjang).

Siapa yang merampas mahar istrinya atau tidak membayarnya di sisi Allah, ia menjadi pezina. Allah akan berkata kepadanya di hari kiamat: “Aku menikahkan kamu kepada hamba-Ku dengan penjanjian-Ku. Engkau tidak memenuhi perjanjian itu.” Allah akan menagih hak istrinya dan bila ia tidak sanggup membayar dengan seluruh kebaikannya, ia dilemparkan ke neraka.

Siapa yang menyakiti tetangganya tanpa hak, Allah akan melarangnya mencium bau surga dan menempatkannya di neraka.Ketahuilah Allah akan meminta pertanggungjawaban atas hak tetanggamu. Siapa yang melalaikan hak tetangganya, ia bukan golongan kami. Siapa saja yang merendahkan orang miskin Muslim karena kemiskinannya dan memandang rendah kepadanya, ia sudah memandang rendah hak Allah. Ia akan terus menerus berada dalam kemurkaan Allah, sampai si miskin itu ridha kepadanya.

Siapa yang mampu berbuat maksiat dengan seorang perempuan, tetapi kemudian meninggalkannya karena takut kepada Allah, Allah mengharamkan neraka baginya dan memberinya kedamaian pada hari yang sangat mengerikan,dan Ia memasukkannya ke surga. Tetapi bila ia melakukan maksiat dengan perempuan itu, Allah mengharamkan surga baginya dan memasukkannya ke neraka.

Siapa yang memperoleh harta secara haram, Allah tidak akan menerima sedekah, pembebasan, haji dan umrahnya. Allah menuliskan dosa untuk setiap pahala dari perbuatannya itu. Dan perbekalan yang tinggal baginya setelah itu mengantarkannya ke neraka. Siapa yang meninggalkan harta yang haram (padahal ia sanggup memperolehnya) karena takut kepada Allah, ia akan selalu berada dalam kecintaan Allah dan kasih-Nya serta ia diperintahkan untuk memasuki surga.

wahai manusia...
Siapa yang menipu orang Islam dalam jual-belinya ia bukan umatku. Pada hari kiamat, ia akan digabungkan bersama orang-orang Yahudi. Ketahuilah, siapa yang menipu orang, ia bukan Muslim. Siapa yang menahan kebutuhan pokok dari tetangganya ketika memerlukannya, Allah akan menahan anugerahnya pada hari kiamat. Allah akan menyuruh ia meminta bantuan pada dirinya sendiri. Siapa yang meminta bantuan hanya pada dirinya saja, ia binasa. Allah tidak akan menerima alasan dari orang itu.

Siapa yang tidur dan dalam hatinya ada niat untuk mengkhianati (menipu) orang Islam, ia tidur dalam kemurkaan Allah. Ia memasuki waktu shubuh juga dalam kemurkaan Allah kecuali bila ia mati atau bertaubat. Jika ia mati dalam keadaan itu, maka ia mati bukan dalam agama Islam. Ketahuilah siapa yang mengkhianati (menipu) kami (umat Islam), ia bukan golongan kami.(Nabi saw. menyebutkan hal ini sebanyak 3 kali).

Sungguh jika kita introspeksi diri, rasanya tak ada walau "selubang" jarum, jalan menuju keselamatan "surga." Karena hampir tak ada dari kita yang tak rakus pada dunia, dan mengejar-ngejar harta, bahkan dengan segala cara)
jika kita kaya, kita menjadi majikan yang suka memeras keringat pembantu...tanpa mau tau apakah upah yang kita berikan layak menurut Allah?
kita sering mengabaikan tetangga, bahkan menyerobot tanah tetangga,tetangga kita tak pernah nyaman atas harta bendanya karena ulah kita...?
"

Selasa, 17 Februari 2009

Jalan Keselamatan ( resensi: "Islam dan Pluralisme" karya Jalaluddin Rakhmat)

“Keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama (ini) yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal shaleh” (Tafsir Sayyid Husseyn Fadhlullah atas Q.S. al-Maidah: 69 dan al-Hajj:17).

Keselamatan pada hari akhirat dan masuk surga adalah harapan semua orang, masing-masing agama juga mengklaim sebagai yang berhak untuk masuk ke surga. Demikian juga Islam, tapi jika kita cermati dalam al-Qur’an. Islam bukan hanya ‘umat’ Nabi Muhammad Saw. saja. Sebab dalam al-Qur’an pun Nabi Ibrahim As., disebut muslim, demikian juga Nabi Nuh, Hud, Sholeh, Musa, Isa As.. Hanya kitab (wahyu) yang diturunkan kepada mereka saja yang berbeda, sebagaimana juga penyebutan pada pengikut-pengikut mereka. Dengan demikian “Islam” di sini lebih dari sekedar Islam KTP seperti yang biasa kita fahami dan klaim. Rakhmat mengartikan Islam di sini sebagai “berserah diri (secara benar/sungguh-sunguh) total.” Bukankah para Nabi memang mencapai derajat berserah diri secara total kepada Allah yang “tertinggi”?

Menurut Rakhmat umat beragama berhak untuk mendapat anugerah berupa surga (keselamatan) sejauh memenuhi syarat berpegang teguh iman kepada Allah dan amal shaleh. Terlepas ia beragama apapun! Hanya saja Rakhmat seolah berlepas diri untuk membahas masalah teologis pada agama-agama lain (khususnya Yahudi dan Kristen) yang menjadi sorotan dari beberapa kalangan Islam. Apakah memiliki alasan etis yang tidak perlu dijelaskan?

Kebanyakan dari kita bertanya: Apakah keselamatan akan diperoleh seorang Yahudi/Nasrani (dan lainnya) setelah datangnya Islam? Lalu bagaimana jika Islam belum hadir di tengah-tengah mereka? Sejauh prinsip tauhid dan amal shaleh dipenuhi maka keselamatan itu sangat mungkin, meski setelah Islam pun datang; karena itu sesuai jika kita mengartikan Islam sebagai “berserah diri total.” Demikian sebaliknya, jika seorang Muslim (beragama Islam) tetapi tidak memenuhi kriteria Islam dengan prinsip iman kepada Allah dan amal shaleh yang benar, maka sangat mungkin ia justru ke neraka. Meskipun menurut kita sangat sulit untuk menemukan seorang Yahudi/Nasrani/lainnya dengan prinsip tauhid yang benar, maka (marilah kita introspeksi diri) benarkah kita sudah beriman kepada Allah dan beramal shaleh secara Islami? Rasanya masih jauh dari harapan! Dalam buku ini dibahas makna Islam secara lengkap, sehingga jika anda ingin lebih mendalam silahkan merujuk ke buku ini!

Selanjutnya Kang Jalal lebih banyak menceritakan tentang para sahabat nabi terpilih, mungkin ia maksudkan sebagai contoh nyata praktik ber-islam dengan sebaik-baiknya sebagaimana yang dicontohkan Nabi Saw. Sekaligus secara eksplisit menjelaskan bentuk lawan “pertentangan” dari apa yang dilakukan para sahabat nabi era-awal seperti Salman al-Farisi dan Abu Dzar al-Ghifari.

Di sini Rakhmat juga menjelaskan ihwal terjadinya skisma besar (perpecahan Islam dalam 2 mazhab besar Sunni dan Syi‘i) dengan melacaknya dari tradisi Kristen. Tapi alih-alih kembali kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai solusi? Justru mereka yang kembali kepada al-Quran malah semakin terpecah karena adanya ayat-ayat mutasyabih (bermakna ganda, bagi beberapa pakar justru semua ayat al-Quran adalah mutasyabih) tapi di titik ini seolah ada pesan tersembunyi dari Tuhan: “Itulah al-Quran (wahyu) jika ia buatan manusia tentu (akal) manusia bisa memahaminya secara mudah?

Jadi tercapailah tujuan buku ini untuk menyadarkan kita tentang betapa beragamnya “warna” Islam, Anda pun bertanya mana yang benar dan mana yang salah? Dan Nabi pun menjawab: Jika seseorang berijtihad kemudian ijtihadnya benar ia mendapat dua pahala; jika ijtihadnya salah ia mendapat satu pahala.” Lalu? Wallahu a‘lam.
(Ahad, 15 Februari 2009).

Senin, 16 Februari 2009

Risalah Cinta Insani (Resensi atas “Pengantin al-Qur’an" karya Quraish Shihab)

Hati manusia masing-masing memiliki kesatuannya, yang saling mengenal akan menyatu dan yang berseteru akan berpisah (H.R. Muslim dari Abi Hurairah)

Cinta secara umum diartikan sebagai kecenderungan hati pada sesuatu; cinta lahir karena adanya sifat-sifat yang didambakan oleh si pencinta yang melekat pada subyek yang dicintainya dan yang terasa olehnya (pencinta). Semakin banyak sifat-sifat itu dan semakin terasa (kehadirannya) semakin kuat dan dalam pula “cinta” si pencinta kepada subyek.

Definisi lain mengatakan cinta adalah dialog dan pertemuan antara dua “aku” serta hubungan timbal balik yang melahirkan tanggungjawab kedua aku itu. Dalam karya ini Quraish menyebut empat strata cinta. Terjadi salah paham ketika orang menyebut cinta pada pandangan pertama, padahal menurut Quraish ia hanyalah simpati. Jadi simpati merupakan tahap pra-cinta fase I.

Fase I: Pada fase ini kedua pihak merasakan ada atau tidaknya kedekatan antara mereka berdua. Kedekatan ini bisa ditelusuri dari kemiripan (kedekatan) psikologis, sosiologis, keadaan ekonomi, latar pendidikan, strata sosial, agama, yang merujuk kepada hobi, perilaku, dll. Dalam tradisi Islam hal ini disebut “kafa’ah.”(kesetaraan).

Fase II: Merupakan fase pengungkapan diri (self revelation). Setelah keduanya merasakan adanya kedekatan, masing-masing pihak merasakan ketenangan dan rasa aman untuk berbicara tentang dirinya lebih dalam lagi, menyangkut: dirinya, keluarganya, cita-citanya, hobi dan kegemarannya, meski pada hal-hal tertentu ada yang ditutup-tutupi karena “pencinta” takut kalau subyek yang dicintainya “pergi” jika ia mengetahui kelemahan dan kekurangan dirinya.

Fase III: Fase saling ketergantungan (mutual dependencies). Pada fase ini masing-masing mengandalkan bantuan yng dicintainya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadinya, karena masing-masing merasa dari dalam lubuk hati yang terdalam bahwa ia memerlukan pasanganya dalam kegembiraan dan kesedihannya.

Fase IV: Fase pemenuhan kebutuhan diri kekasihnya; dan ini akan mencapai puncaknya ketika seseorang mengorbankan segala yang dimilikinya demi kebutuhan kekasihnya sekaligus juga kebutuhan emosional baginya.

Nampak Quraish menjelaskan tahap-tahap di atas hanya untuk dua insan yang saling mencinta, bukan untuk keadaan di mana hanya satu pihak yang mencinta, sedang yang lain tidak menyadari sebagai ‘obyek’ cinta, maupun obyek memang tidak peduli. Demikian juga di luar konteks ini, cinta seseorang kepada uang, rumah, kendaraan dll (benda) karena subyek yang dicintai tidak memiliki “aku” (ego).

Agak susah untuk menangkap isi buku ini karena buku ini merupakan pesan-pesan untuk anaknya yang ditulis secara sendiri-sendiri sehingga tidak jarang terjadi pengulangan baik ayat, Hadits, maupun referensi yang lain. Selebihnya merupakan pesan-pesan dan nasehat yang ditujukan bagi mereka yang hendak, atau sedang membina cinta dan hubungan rumah tangga.

"Perumpamaan" Relasi Hamba-Tuhan"

Relasi antara hamba(‘abd) dengan Tuhannya (ma‘bud) diumpamakan seperti dua hal. Pertama,Sebagaimana gelombang cahaya, sinar matahari akan sampai dan diserap bumi jika langit berawan tanpa kabut. Kabut-kabut atau noda-noda di daerah atmosphere bumi akan menghalangi masuknya cahaya matahari. Demikian juga kotoran-kotoran dalam hati seorang hamba akan membuat cahaya Ilaahi tidak dapat diterima secara penuh dan jernih oleh hati. Demikian juga seorang hamba yang kafir yang tidak mengakui adanya Tuhan, secara otomatis cahaya tidak akan masuk dalam hatinya, karena hatinya telah menyangkal adanya cahaya itu sendiri. Kedua, Laksana alam jagad raya. Tuhan adalah sumber kehidupan (ruhani). Hati yang hidup akan selalu mendapatkan siraman air penyejuk dahaga kalbu dari sumber mata air kehidupan. Sementara hati yang sakit, disebabkan ia jarang mendapatkan siraman air dari mata air kehidupan, karena ia jarang berdzikir. Sedangkan orang –orang yang ingkar berdzikir, maka hatinya akan mati, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits seseorang yang tidak ‘berdzikir’ selama 40 hari, maka hatinya akan keras membatu.
Ketika seseorang mendawamkan dzikir, maka ia harus menciptakan suatu kondisi agar dzikirnya benar-benar membekas dalam dirinya. Agar dirinya konsen dzikir pada Tuhannya, maka seorang mudzakkir harus melupakan hal-hal selain-Nya, minimal mengurangi memikirkan hal-hal lain yang tidak berguna. Salah satunya adalah dengan puasa. Dengan puasa, seseorang akan menjauhi makanan, minuman, hal duniawi, dan nafsu angkara lainnya karena ia membatalkan puasa. Diri (ego, atau khudi dalam bahasa Iqbal) secara otomatis akan berusaha menjauhinya, meski pada awalnya takut membatalkan puasa, tapi fokus tujuan akhirnya adalah Allah semata. Dan diri termotivasi untuk melakukan itu.