Selasa, 17 Februari 2009

Jalan Keselamatan ( resensi: "Islam dan Pluralisme" karya Jalaluddin Rakhmat)

“Keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama (ini) yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal shaleh” (Tafsir Sayyid Husseyn Fadhlullah atas Q.S. al-Maidah: 69 dan al-Hajj:17).

Keselamatan pada hari akhirat dan masuk surga adalah harapan semua orang, masing-masing agama juga mengklaim sebagai yang berhak untuk masuk ke surga. Demikian juga Islam, tapi jika kita cermati dalam al-Qur’an. Islam bukan hanya ‘umat’ Nabi Muhammad Saw. saja. Sebab dalam al-Qur’an pun Nabi Ibrahim As., disebut muslim, demikian juga Nabi Nuh, Hud, Sholeh, Musa, Isa As.. Hanya kitab (wahyu) yang diturunkan kepada mereka saja yang berbeda, sebagaimana juga penyebutan pada pengikut-pengikut mereka. Dengan demikian “Islam” di sini lebih dari sekedar Islam KTP seperti yang biasa kita fahami dan klaim. Rakhmat mengartikan Islam di sini sebagai “berserah diri (secara benar/sungguh-sunguh) total.” Bukankah para Nabi memang mencapai derajat berserah diri secara total kepada Allah yang “tertinggi”?

Menurut Rakhmat umat beragama berhak untuk mendapat anugerah berupa surga (keselamatan) sejauh memenuhi syarat berpegang teguh iman kepada Allah dan amal shaleh. Terlepas ia beragama apapun! Hanya saja Rakhmat seolah berlepas diri untuk membahas masalah teologis pada agama-agama lain (khususnya Yahudi dan Kristen) yang menjadi sorotan dari beberapa kalangan Islam. Apakah memiliki alasan etis yang tidak perlu dijelaskan?

Kebanyakan dari kita bertanya: Apakah keselamatan akan diperoleh seorang Yahudi/Nasrani (dan lainnya) setelah datangnya Islam? Lalu bagaimana jika Islam belum hadir di tengah-tengah mereka? Sejauh prinsip tauhid dan amal shaleh dipenuhi maka keselamatan itu sangat mungkin, meski setelah Islam pun datang; karena itu sesuai jika kita mengartikan Islam sebagai “berserah diri total.” Demikian sebaliknya, jika seorang Muslim (beragama Islam) tetapi tidak memenuhi kriteria Islam dengan prinsip iman kepada Allah dan amal shaleh yang benar, maka sangat mungkin ia justru ke neraka. Meskipun menurut kita sangat sulit untuk menemukan seorang Yahudi/Nasrani/lainnya dengan prinsip tauhid yang benar, maka (marilah kita introspeksi diri) benarkah kita sudah beriman kepada Allah dan beramal shaleh secara Islami? Rasanya masih jauh dari harapan! Dalam buku ini dibahas makna Islam secara lengkap, sehingga jika anda ingin lebih mendalam silahkan merujuk ke buku ini!

Selanjutnya Kang Jalal lebih banyak menceritakan tentang para sahabat nabi terpilih, mungkin ia maksudkan sebagai contoh nyata praktik ber-islam dengan sebaik-baiknya sebagaimana yang dicontohkan Nabi Saw. Sekaligus secara eksplisit menjelaskan bentuk lawan “pertentangan” dari apa yang dilakukan para sahabat nabi era-awal seperti Salman al-Farisi dan Abu Dzar al-Ghifari.

Di sini Rakhmat juga menjelaskan ihwal terjadinya skisma besar (perpecahan Islam dalam 2 mazhab besar Sunni dan Syi‘i) dengan melacaknya dari tradisi Kristen. Tapi alih-alih kembali kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai solusi? Justru mereka yang kembali kepada al-Quran malah semakin terpecah karena adanya ayat-ayat mutasyabih (bermakna ganda, bagi beberapa pakar justru semua ayat al-Quran adalah mutasyabih) tapi di titik ini seolah ada pesan tersembunyi dari Tuhan: “Itulah al-Quran (wahyu) jika ia buatan manusia tentu (akal) manusia bisa memahaminya secara mudah?

Jadi tercapailah tujuan buku ini untuk menyadarkan kita tentang betapa beragamnya “warna” Islam, Anda pun bertanya mana yang benar dan mana yang salah? Dan Nabi pun menjawab: Jika seseorang berijtihad kemudian ijtihadnya benar ia mendapat dua pahala; jika ijtihadnya salah ia mendapat satu pahala.” Lalu? Wallahu a‘lam.
(Ahad, 15 Februari 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar