Hati manusia masing-masing memiliki kesatuannya, yang saling mengenal akan menyatu dan yang berseteru akan berpisah (H.R. Muslim dari Abi Hurairah)
Cinta secara umum diartikan sebagai kecenderungan hati pada sesuatu; cinta lahir karena adanya sifat-sifat yang didambakan oleh si pencinta yang melekat pada subyek yang dicintainya dan yang terasa olehnya (pencinta). Semakin banyak sifat-sifat itu dan semakin terasa (kehadirannya) semakin kuat dan dalam pula “cinta” si pencinta kepada subyek.
Definisi lain mengatakan cinta adalah dialog dan pertemuan antara dua “aku” serta hubungan timbal balik yang melahirkan tanggungjawab kedua aku itu. Dalam karya ini Quraish menyebut empat strata cinta. Terjadi salah paham ketika orang menyebut cinta pada pandangan pertama, padahal menurut Quraish ia hanyalah simpati. Jadi simpati merupakan tahap pra-cinta fase I.
Fase I: Pada fase ini kedua pihak merasakan ada atau tidaknya kedekatan antara mereka berdua. Kedekatan ini bisa ditelusuri dari kemiripan (kedekatan) psikologis, sosiologis, keadaan ekonomi, latar pendidikan, strata sosial, agama, yang merujuk kepada hobi, perilaku, dll. Dalam tradisi Islam hal ini disebut “kafa’ah.”(kesetaraan).
Fase II: Merupakan fase pengungkapan diri (self revelation). Setelah keduanya merasakan adanya kedekatan, masing-masing pihak merasakan ketenangan dan rasa aman untuk berbicara tentang dirinya lebih dalam lagi, menyangkut: dirinya, keluarganya, cita-citanya, hobi dan kegemarannya, meski pada hal-hal tertentu ada yang ditutup-tutupi karena “pencinta” takut kalau subyek yang dicintainya “pergi” jika ia mengetahui kelemahan dan kekurangan dirinya.
Fase III: Fase saling ketergantungan (mutual dependencies). Pada fase ini masing-masing mengandalkan bantuan yng dicintainya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadinya, karena masing-masing merasa dari dalam lubuk hati yang terdalam bahwa ia memerlukan pasanganya dalam kegembiraan dan kesedihannya.
Fase IV: Fase pemenuhan kebutuhan diri kekasihnya; dan ini akan mencapai puncaknya ketika seseorang mengorbankan segala yang dimilikinya demi kebutuhan kekasihnya sekaligus juga kebutuhan emosional baginya.
Nampak Quraish menjelaskan tahap-tahap di atas hanya untuk dua insan yang saling mencinta, bukan untuk keadaan di mana hanya satu pihak yang mencinta, sedang yang lain tidak menyadari sebagai ‘obyek’ cinta, maupun obyek memang tidak peduli. Demikian juga di luar konteks ini, cinta seseorang kepada uang, rumah, kendaraan dll (benda) karena subyek yang dicintai tidak memiliki “aku” (ego).
Agak susah untuk menangkap isi buku ini karena buku ini merupakan pesan-pesan untuk anaknya yang ditulis secara sendiri-sendiri sehingga tidak jarang terjadi pengulangan baik ayat, Hadits, maupun referensi yang lain. Selebihnya merupakan pesan-pesan dan nasehat yang ditujukan bagi mereka yang hendak, atau sedang membina cinta dan hubungan rumah tangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar