Sabtu, 14 September 2013

Tanbīh al-Māsyī: Menyoal Wahdatul Wujud Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17

(Oman Fathurahman. 1999. Tanbīh al-Māsyī: Menyoal Wahdatul Wujud Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17 (Bandung: Mizan-EFEO Jakarta). Cet. I, 206 halaman).

Buku ini merupakan edisi cetak dari tesis Oman Fathurahman pada Program Studi Ilmu Susastra, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, akhir 1998. Edisi tesis dari buku ini berjudul Tanbīh al-Māsyī al-Mansūb ilá Ṭarīq al-Qusyāsyiyy: Tanggapan as-Sinkili terhadap Kontroversi Doktrin Wujudiyyah di Aceh pada Abad XVII (Suntingan Teks dan Analisis Isi).

Tanbīh al-Māsyī merupakan salah satu karya Syaikh Abdurrauf as-Sinkili. Karya-karya Abdurrauf Singkel menurut pengakuannya sendiri sebagian besar berbahasa Arab, karena setelah 19 tahun ia di Arab, ia merasa tidak lagi fasih berbahasa Melayu (Fathurahman, 1999: 33). Namun fakta yang dihasilkan hingga saat ini, sebagian besar naskah yang diketemukan berbahasa Melayu. Karena itu, kajian Fathurahman ini merupakan “pesan” tersendiri karena naskah Tanbīh al-Māsyī ditulis dalam bahasa Arab.

Ketika menanggapi kontroversi doktrin wahdatul wujud, menurut Abdurrauf kita harus berhati-hati, karena hal ini berkaitan dengan masalah tauhid. Tauhid menurut as-Sinkili adalah “mengaitkan sifat Esa dengan Tuhan, bukan menjadikan Tuhan Esa. Karena sifat Esa bagi Tuhan adalah sesuatu yang telah melekat pada dzat-Nya, bukan diberikan oleh pihak lain (Fathurahman, 1999: 43-44). Terdapat empat tingkatan tauhid yaitu tauhid uluhiyyah (mengesakan ketuhanan Allah), tauhid af’al (mengesakan perbuatan Allah), tauhid sifat (mengesakan sifat-sifat Allah), dan tauhid dzat (mengesakan dzat Allah) (Fathurahman, 1999: 45).

Meskipun Abdurrauf tidak berbeda pendapat dengan Hamzah Fansuri dalam hal penciptaan alam, yakni bahwa alam tidak diciptakan dari tiada menjadi ada (creation ex nihilo), melainkan alam diciptakan dari rahmat Allah –Allah menciptakan alam berdasarkan “pengetahuannya” (emanasi) pada zaman azali secara tertib. Namun, alam bagi Abdurrauf tidak benar-benar identik dengan Tuhan (dalam dzatnya dan keabadiannya). Pun jika identik, maka itu terjadi hanya pada zaman azali; bagaimanapun “bayangan” (dimaksudkan alam + manusia) tidak benar-benar sama dengan benda aslinya (Fathurahman, 1999: 45-46.) Abdurrauf pun tidak setuju dengan Hamzah Fansuri dan “pengikutnya” dalam cara ilmu/ajaran ini disebarkan pada khalayak umum. Begitu pula ia menentang cara-cara Nuruddin al-Raniry menyerang pengikut-pengikut Hamzah Fansuri dengan menuduhnya “kafir.” Seraya ia membalik tuduhan itu bahwa jika celaan itu tidak benar, maka dirinyalah (al-Raniry) yang menjadi kafir (Fathurahman, 1999: 63).

Teks Tanbīh al-Māsyī sungguh teramat kaya, tanggapan terhadap wahdatul wujud hanya merupakan satu tema. Selain wahdatul wujud, tema lain yang dikupas adalah maqam-maqam sufi dalam tarekat Syathariyyah (Qusyasyiyyah) –dalam naskah maqam-maqam ini merupakan bagian/tingkatan-tingkatan dari tauhid tingkat akhir (tauhid dzat). Martabat ini (maqam) terdiri dari sepuluh martabat yakni: al-bidāyāt, al-abwāb, al-muʻāmalāt, al-akhlāq, al-usūl, al-audiyah, al-aḥwāl, al-wilāyah, al-ḥaqā’iq dan an-nihāyāt (Fathurahman, 1999: 125). Pada masing-masing martabat terdapat lagi 10 martabat, jadi jumlah keseluruhan 100 martabat. Jumlah keseluruhan martabat ini dijelaskan dari halaman 33-43 pada naskah.

Selain itu, juga ada pembahasan tentang kematian. Menurut Abdurrauf kematian ada dua, yakni mati iḍṭirārī (mati sebagaimana biasanya) dan mati ikhtiyārī (mati fana). Mati ikhtiyari adalah mati dari segala sifat-sifat “kemanusiaan” serta meninggalkan segala keinginan, kehendak, dan hawa nafsu. Mati inilah yang berusaha dicapai oleh para sufi sebelum mereka mati iḍṭirārī.

Tanbīh al-Māsyī juga berisi tuntunan-tuntunan praktis atau amalan-amalan sehari-hari yang dilakukan dan dianjurkan oleh Abdurrauf seperti membaca istighfar, membaca surat Yāsīn, al-Mulk, al-Wāqiʻah, tahlil, al-Fatihah, muʻawwidzatayn, istikhoroh, dan sebagainya sesuai dengan ajaran tarekat Syathariyyah dan Qadiriyyah. Dan masih banyak lagi ajaran-ajaran amaliah dari Abdurrauf, termasuk anjuran untuk menolong sesama yang dalam kesulitan.

(Tulis tangan, Pisangan, 02 Desember 2010 diketik “ulang” di Banda Aceh, 14 September 2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar