(Oman Fathurahman. 1999. Tanbīh al-Māsyī: Menyoal
Wahdatul Wujud Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17 (Bandung: Mizan-EFEO
Jakarta). Cet. I, 206 halaman).
Buku ini merupakan edisi cetak dari
tesis Oman Fathurahman pada Program Studi Ilmu Susastra, Program Pascasarjana
Universitas Indonesia, akhir 1998. Edisi tesis dari buku ini berjudul Tanbīh
al-Māsyī al-Mansūb ilá Ṭarīq al-Qusyāsyiyy: Tanggapan as-Sinkili terhadap
Kontroversi Doktrin Wujudiyyah di Aceh pada Abad XVII (Suntingan Teks dan
Analisis Isi).
Tanbīh al-Māsyī merupakan salah satu
karya Syaikh Abdurrauf as-Sinkili. Karya-karya Abdurrauf Singkel menurut
pengakuannya sendiri sebagian besar berbahasa Arab, karena setelah 19 tahun ia
di Arab, ia merasa tidak lagi fasih berbahasa Melayu (Fathurahman, 1999: 33).
Namun fakta yang dihasilkan hingga saat ini, sebagian besar naskah yang
diketemukan berbahasa Melayu. Karena itu, kajian Fathurahman ini merupakan “pesan”
tersendiri karena naskah Tanbīh al-Māsyī
ditulis dalam bahasa Arab.
Ketika menanggapi kontroversi
doktrin wahdatul wujud, menurut Abdurrauf kita harus berhati-hati, karena hal ini
berkaitan dengan masalah tauhid. Tauhid menurut as-Sinkili adalah “mengaitkan
sifat Esa dengan Tuhan, bukan menjadikan Tuhan Esa. Karena sifat Esa bagi Tuhan
adalah sesuatu yang telah melekat pada dzat-Nya, bukan diberikan oleh pihak
lain (Fathurahman, 1999: 43-44). Terdapat empat tingkatan tauhid yaitu tauhid
uluhiyyah (mengesakan ketuhanan Allah), tauhid af’al (mengesakan perbuatan Allah),
tauhid sifat (mengesakan sifat-sifat Allah), dan tauhid dzat (mengesakan dzat Allah)
(Fathurahman, 1999: 45).
Meskipun Abdurrauf tidak berbeda
pendapat dengan Hamzah Fansuri dalam hal penciptaan alam, yakni bahwa alam
tidak diciptakan dari tiada menjadi ada (creation
ex nihilo), melainkan alam diciptakan dari rahmat Allah –Allah menciptakan
alam berdasarkan “pengetahuannya” (emanasi)
pada zaman azali secara tertib. Namun, alam bagi Abdurrauf tidak benar-benar
identik dengan Tuhan (dalam dzatnya dan keabadiannya). Pun jika identik, maka
itu terjadi hanya pada zaman azali; bagaimanapun “bayangan” (dimaksudkan alam +
manusia) tidak benar-benar sama dengan benda aslinya (Fathurahman, 1999: 45-46.)
Abdurrauf pun tidak setuju dengan Hamzah Fansuri dan “pengikutnya” dalam cara
ilmu/ajaran ini disebarkan pada khalayak umum. Begitu pula ia menentang
cara-cara Nuruddin al-Raniry menyerang pengikut-pengikut Hamzah Fansuri dengan
menuduhnya “kafir.” Seraya ia membalik tuduhan itu bahwa jika celaan itu tidak
benar, maka dirinyalah (al-Raniry) yang menjadi kafir (Fathurahman, 1999: 63).
Teks Tanbīh al-Māsyī sungguh teramat
kaya, tanggapan terhadap wahdatul wujud hanya merupakan satu tema. Selain wahdatul
wujud, tema lain yang dikupas adalah maqam-maqam sufi dalam tarekat
Syathariyyah (Qusyasyiyyah) –dalam naskah maqam-maqam ini merupakan bagian/tingkatan-tingkatan
dari tauhid tingkat akhir (tauhid dzat). Martabat ini (maqam) terdiri dari
sepuluh martabat yakni: al-bidāyāt, al-abwāb, al-muʻāmalāt, al-akhlāq,
al-usūl, al-audiyah, al-aḥwāl, al-wilāyah, al-ḥaqā’iq dan an-nihāyāt
(Fathurahman, 1999: 125). Pada masing-masing martabat terdapat lagi 10 martabat,
jadi jumlah keseluruhan 100 martabat. Jumlah keseluruhan martabat ini
dijelaskan dari halaman 33-43 pada naskah.
Selain itu, juga ada pembahasan
tentang kematian. Menurut Abdurrauf kematian ada dua, yakni mati iḍṭirārī
(mati sebagaimana biasanya) dan mati ikhtiyārī (mati fana). Mati ikhtiyari
adalah mati dari segala sifat-sifat “kemanusiaan” serta meninggalkan segala
keinginan, kehendak, dan hawa nafsu. Mati inilah yang berusaha dicapai oleh
para sufi sebelum mereka mati iḍṭirārī.
Tanbīh al-Māsyī juga berisi
tuntunan-tuntunan praktis atau amalan-amalan sehari-hari yang dilakukan dan
dianjurkan oleh Abdurrauf seperti membaca istighfar, membaca surat Yāsīn,
al-Mulk, al-Wāqiʻah, tahlil, al-Fatihah, muʻawwidzatayn, istikhoroh, dan sebagainya
sesuai dengan ajaran tarekat Syathariyyah dan Qadiriyyah. Dan masih banyak lagi
ajaran-ajaran amaliah dari Abdurrauf, termasuk anjuran untuk menolong sesama
yang dalam kesulitan.
(Tulis tangan, Pisangan,
02 Desember 2010 diketik “ulang” di Banda Aceh, 14 September 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar