"Ceramah di bawah ini merupakan kutipan hadits Nabi SAW, yakni khutbah Nabi Saw. beberapa hari sebelum ia menemui Kekasihnya (wafat), Allah Swt.. materi ceramah di atas merupakan intisari pengamalan ajaran Islam yang sering diabaikan orang.
"Alhamdulillah. Kita memuji Dia dan memohon pertolongan-Nya. Kita beriman dan berserah diri kepada-Nya. Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah. Yang Esa. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Kita bersaksi juga bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejelekan diri kita dan keburukan amal kita. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tidak seorangpun dapat menyesatkannya. Siapa yang disesatkan Allah tidak seorangpun dapat memberinya petunjuk.
Wahai manusia…
Akan nada di kalangan umat ini tiga puluh pendusta (yang mengaku sebagai nabi). Yang pertama di antara mereka adalah orang San’a dan orang Yamamah (Musaylamah).
Siapapun di antara kamu yang menemui Allah dengan membawa kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (kesaksian yang ikhlas dan tidak dicampuri selain itu) pastilah ia masuk surga.
Wahai manusia…
Yang mencemari akidah itu adalah kerakusan pada dunia, mengumpulkan dunia, bukan secara halal, dan bersenang-senang dengan harta yang haram. Termasuk akidah yang tercemar adalah kaum yang berbicara dengan perkataan orang-orang baik, tetapi berperilaku seperti perilaku para tiran.
Wahai manusia…
Siapa yang menghadap Allah dengan tidak membawa hal-hal tersebut sedikitpun, dan mengucapkan la ilaha illallaah, baginya surga. Siapa yang mengambil dunia dan meninggalkan akhirat baginya neraka.
Wahai manusia…
Siapa saja yang membantu permusuhan para penindas dan membantunya untuk melakukan penindasan, maka malaikat pencabut nyawa akan datang membawa berita kepadanya – ia mendapat laknat Allah, kekal di neraka, dan tempat kembali yang jelek.
Wahai manusia…
Siapa yang melangkahkan kaki kepada penguasa yang zalim untuk memenuhi kebutuhannya, ia akan menyertai penguasa itu di neraka. Siapa yang menunjuki kepada penguasa jalan untuk melakukan penindasan, ia akan dihimpunkan bersama Haman (penasihat Firaun). Ia, Haman, dan penguasa yang zalim itu akan mendapat siksa yang paling berat di neraka.
Siapa yang memuliakan pemilik dunia dan mencintainya karena ia mengharapkan dunianya, Allah murka kepadanya. Ia akan ditempatkan di neraka paling bawah bersama Qarun. Siapa yang membangun rumah hanya untuk kemegahan dan kesombongan, maka pada hari kiamat ia akan dibawa ke tujuh petala bumi; kemudian dibelenggu dengan api yang menyala di lehernya dan dilemparkan ke neraka.
Wahai manusia…
Siapa yang membayar upah buruhnya secara zalim (tidak membayar upahnya secara layak), Allah akan menghapuskan seluruh amal salehnya dan ia tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga tercium dari jarak 500 tahun. Siapa yang mengkhianati tetangganya dengan sejengkal tanah saja, ia akan dibelenggu api sampai ke tujuh petala bumi sehingga ia dimasukkan ke neraka.
Wahai manusia…
Siapa yang menikahi seorang perempuan dengan harta yang halal, tetapi karena menginginkan kemegahan dan kesombongan, Allah tidak akan memberinya bekal kecuaali kehinaan dan kerendahan. Sesuai dengan kadar kesenangannya, Allah akan menyuruhnya berdiri di tepian jahanam dan kemudian jatuh ke dalamnya sejauh tujuh puluh kharif (ukuran panjang).
Siapa yang merampas mahar istrinya atau tidak membayarnya di sisi Allah, ia menjadi pezina. Allah akan berkata kepadanya di hari kiamat: “Aku menikahkan kamu kepada hamba-Ku dengan penjanjian-Ku. Engkau tidak memenuhi perjanjian itu.” Allah akan menagih hak istrinya dan bila ia tidak sanggup membayar dengan seluruh kebaikannya, ia dilemparkan ke neraka.
Siapa yang menyakiti tetangganya tanpa hak, Allah akan melarangnya mencium bau surga dan menempatkannya di neraka.Ketahuilah Allah akan meminta pertanggungjawaban atas hak tetanggamu. Siapa yang melalaikan hak tetangganya, ia bukan golongan kami. Siapa saja yang merendahkan orang miskin Muslim karena kemiskinannya dan memandang rendah kepadanya, ia sudah memandang rendah hak Allah. Ia akan terus menerus berada dalam kemurkaan Allah, sampai si miskin itu ridha kepadanya.
Siapa yang mampu berbuat maksiat dengan seorang perempuan, tetapi kemudian meninggalkannya karena takut kepada Allah, Allah mengharamkan neraka baginya dan memberinya kedamaian pada hari yang sangat mengerikan,dan Ia memasukkannya ke surga. Tetapi bila ia melakukan maksiat dengan perempuan itu, Allah mengharamkan surga baginya dan memasukkannya ke neraka.
Siapa yang memperoleh harta secara haram, Allah tidak akan menerima sedekah, pembebasan, haji dan umrahnya. Allah menuliskan dosa untuk setiap pahala dari perbuatannya itu. Dan perbekalan yang tinggal baginya setelah itu mengantarkannya ke neraka. Siapa yang meninggalkan harta yang haram (padahal ia sanggup memperolehnya) karena takut kepada Allah, ia akan selalu berada dalam kecintaan Allah dan kasih-Nya serta ia diperintahkan untuk memasuki surga.
wahai manusia...
Siapa yang menipu orang Islam dalam jual-belinya ia bukan umatku. Pada hari kiamat, ia akan digabungkan bersama orang-orang Yahudi. Ketahuilah, siapa yang menipu orang, ia bukan Muslim. Siapa yang menahan kebutuhan pokok dari tetangganya ketika memerlukannya, Allah akan menahan anugerahnya pada hari kiamat. Allah akan menyuruh ia meminta bantuan pada dirinya sendiri. Siapa yang meminta bantuan hanya pada dirinya saja, ia binasa. Allah tidak akan menerima alasan dari orang itu.
Siapa yang tidur dan dalam hatinya ada niat untuk mengkhianati (menipu) orang Islam, ia tidur dalam kemurkaan Allah. Ia memasuki waktu shubuh juga dalam kemurkaan Allah kecuali bila ia mati atau bertaubat. Jika ia mati dalam keadaan itu, maka ia mati bukan dalam agama Islam. Ketahuilah siapa yang mengkhianati (menipu) kami (umat Islam), ia bukan golongan kami.(Nabi saw. menyebutkan hal ini sebanyak 3 kali).
Sungguh jika kita introspeksi diri, rasanya tak ada walau "selubang" jarum, jalan menuju keselamatan "surga." Karena hampir tak ada dari kita yang tak rakus pada dunia, dan mengejar-ngejar harta, bahkan dengan segala cara)
jika kita kaya, kita menjadi majikan yang suka memeras keringat pembantu...tanpa mau tau apakah upah yang kita berikan layak menurut Allah?
kita sering mengabaikan tetangga, bahkan menyerobot tanah tetangga,tetangga kita tak pernah nyaman atas harta bendanya karena ulah kita...?"
Jumat, 20 Februari 2009
Selasa, 17 Februari 2009
Jalan Keselamatan ( resensi: "Islam dan Pluralisme" karya Jalaluddin Rakhmat)
“Keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama (ini) yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal shaleh” (Tafsir Sayyid Husseyn Fadhlullah atas Q.S. al-Maidah: 69 dan al-Hajj:17).
Keselamatan pada hari akhirat dan masuk surga adalah harapan semua orang, masing-masing agama juga mengklaim sebagai yang berhak untuk masuk ke surga. Demikian juga Islam, tapi jika kita cermati dalam al-Qur’an. Islam bukan hanya ‘umat’ Nabi Muhammad Saw. saja. Sebab dalam al-Qur’an pun Nabi Ibrahim As., disebut muslim, demikian juga Nabi Nuh, Hud, Sholeh, Musa, Isa As.. Hanya kitab (wahyu) yang diturunkan kepada mereka saja yang berbeda, sebagaimana juga penyebutan pada pengikut-pengikut mereka. Dengan demikian “Islam” di sini lebih dari sekedar Islam KTP seperti yang biasa kita fahami dan klaim. Rakhmat mengartikan Islam di sini sebagai “berserah diri (secara benar/sungguh-sunguh) total.” Bukankah para Nabi memang mencapai derajat berserah diri secara total kepada Allah yang “tertinggi”?
Menurut Rakhmat umat beragama berhak untuk mendapat anugerah berupa surga (keselamatan) sejauh memenuhi syarat berpegang teguh iman kepada Allah dan amal shaleh. Terlepas ia beragama apapun! Hanya saja Rakhmat seolah berlepas diri untuk membahas masalah teologis pada agama-agama lain (khususnya Yahudi dan Kristen) yang menjadi sorotan dari beberapa kalangan Islam. Apakah memiliki alasan etis yang tidak perlu dijelaskan?
Kebanyakan dari kita bertanya: Apakah keselamatan akan diperoleh seorang Yahudi/Nasrani (dan lainnya) setelah datangnya Islam? Lalu bagaimana jika Islam belum hadir di tengah-tengah mereka? Sejauh prinsip tauhid dan amal shaleh dipenuhi maka keselamatan itu sangat mungkin, meski setelah Islam pun datang; karena itu sesuai jika kita mengartikan Islam sebagai “berserah diri total.” Demikian sebaliknya, jika seorang Muslim (beragama Islam) tetapi tidak memenuhi kriteria Islam dengan prinsip iman kepada Allah dan amal shaleh yang benar, maka sangat mungkin ia justru ke neraka. Meskipun menurut kita sangat sulit untuk menemukan seorang Yahudi/Nasrani/lainnya dengan prinsip tauhid yang benar, maka (marilah kita introspeksi diri) benarkah kita sudah beriman kepada Allah dan beramal shaleh secara Islami? Rasanya masih jauh dari harapan! Dalam buku ini dibahas makna Islam secara lengkap, sehingga jika anda ingin lebih mendalam silahkan merujuk ke buku ini!
Selanjutnya Kang Jalal lebih banyak menceritakan tentang para sahabat nabi terpilih, mungkin ia maksudkan sebagai contoh nyata praktik ber-islam dengan sebaik-baiknya sebagaimana yang dicontohkan Nabi Saw. Sekaligus secara eksplisit menjelaskan bentuk lawan “pertentangan” dari apa yang dilakukan para sahabat nabi era-awal seperti Salman al-Farisi dan Abu Dzar al-Ghifari.
Di sini Rakhmat juga menjelaskan ihwal terjadinya skisma besar (perpecahan Islam dalam 2 mazhab besar Sunni dan Syi‘i) dengan melacaknya dari tradisi Kristen. Tapi alih-alih kembali kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai solusi? Justru mereka yang kembali kepada al-Quran malah semakin terpecah karena adanya ayat-ayat mutasyabih (bermakna ganda, bagi beberapa pakar justru semua ayat al-Quran adalah mutasyabih) tapi di titik ini seolah ada pesan tersembunyi dari Tuhan: “Itulah al-Quran (wahyu) jika ia buatan manusia tentu (akal) manusia bisa memahaminya secara mudah?
Jadi tercapailah tujuan buku ini untuk menyadarkan kita tentang betapa beragamnya “warna” Islam, Anda pun bertanya mana yang benar dan mana yang salah? Dan Nabi pun menjawab: Jika seseorang berijtihad kemudian ijtihadnya benar ia mendapat dua pahala; jika ijtihadnya salah ia mendapat satu pahala.” Lalu? Wallahu a‘lam.
(Ahad, 15 Februari 2009).
Keselamatan pada hari akhirat dan masuk surga adalah harapan semua orang, masing-masing agama juga mengklaim sebagai yang berhak untuk masuk ke surga. Demikian juga Islam, tapi jika kita cermati dalam al-Qur’an. Islam bukan hanya ‘umat’ Nabi Muhammad Saw. saja. Sebab dalam al-Qur’an pun Nabi Ibrahim As., disebut muslim, demikian juga Nabi Nuh, Hud, Sholeh, Musa, Isa As.. Hanya kitab (wahyu) yang diturunkan kepada mereka saja yang berbeda, sebagaimana juga penyebutan pada pengikut-pengikut mereka. Dengan demikian “Islam” di sini lebih dari sekedar Islam KTP seperti yang biasa kita fahami dan klaim. Rakhmat mengartikan Islam di sini sebagai “berserah diri (secara benar/sungguh-sunguh) total.” Bukankah para Nabi memang mencapai derajat berserah diri secara total kepada Allah yang “tertinggi”?
Menurut Rakhmat umat beragama berhak untuk mendapat anugerah berupa surga (keselamatan) sejauh memenuhi syarat berpegang teguh iman kepada Allah dan amal shaleh. Terlepas ia beragama apapun! Hanya saja Rakhmat seolah berlepas diri untuk membahas masalah teologis pada agama-agama lain (khususnya Yahudi dan Kristen) yang menjadi sorotan dari beberapa kalangan Islam. Apakah memiliki alasan etis yang tidak perlu dijelaskan?
Kebanyakan dari kita bertanya: Apakah keselamatan akan diperoleh seorang Yahudi/Nasrani (dan lainnya) setelah datangnya Islam? Lalu bagaimana jika Islam belum hadir di tengah-tengah mereka? Sejauh prinsip tauhid dan amal shaleh dipenuhi maka keselamatan itu sangat mungkin, meski setelah Islam pun datang; karena itu sesuai jika kita mengartikan Islam sebagai “berserah diri total.” Demikian sebaliknya, jika seorang Muslim (beragama Islam) tetapi tidak memenuhi kriteria Islam dengan prinsip iman kepada Allah dan amal shaleh yang benar, maka sangat mungkin ia justru ke neraka. Meskipun menurut kita sangat sulit untuk menemukan seorang Yahudi/Nasrani/lainnya dengan prinsip tauhid yang benar, maka (marilah kita introspeksi diri) benarkah kita sudah beriman kepada Allah dan beramal shaleh secara Islami? Rasanya masih jauh dari harapan! Dalam buku ini dibahas makna Islam secara lengkap, sehingga jika anda ingin lebih mendalam silahkan merujuk ke buku ini!
Selanjutnya Kang Jalal lebih banyak menceritakan tentang para sahabat nabi terpilih, mungkin ia maksudkan sebagai contoh nyata praktik ber-islam dengan sebaik-baiknya sebagaimana yang dicontohkan Nabi Saw. Sekaligus secara eksplisit menjelaskan bentuk lawan “pertentangan” dari apa yang dilakukan para sahabat nabi era-awal seperti Salman al-Farisi dan Abu Dzar al-Ghifari.
Di sini Rakhmat juga menjelaskan ihwal terjadinya skisma besar (perpecahan Islam dalam 2 mazhab besar Sunni dan Syi‘i) dengan melacaknya dari tradisi Kristen. Tapi alih-alih kembali kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai solusi? Justru mereka yang kembali kepada al-Quran malah semakin terpecah karena adanya ayat-ayat mutasyabih (bermakna ganda, bagi beberapa pakar justru semua ayat al-Quran adalah mutasyabih) tapi di titik ini seolah ada pesan tersembunyi dari Tuhan: “Itulah al-Quran (wahyu) jika ia buatan manusia tentu (akal) manusia bisa memahaminya secara mudah?
Jadi tercapailah tujuan buku ini untuk menyadarkan kita tentang betapa beragamnya “warna” Islam, Anda pun bertanya mana yang benar dan mana yang salah? Dan Nabi pun menjawab: Jika seseorang berijtihad kemudian ijtihadnya benar ia mendapat dua pahala; jika ijtihadnya salah ia mendapat satu pahala.” Lalu? Wallahu a‘lam.
(Ahad, 15 Februari 2009).
Senin, 16 Februari 2009
Risalah Cinta Insani (Resensi atas “Pengantin al-Qur’an" karya Quraish Shihab)
Hati manusia masing-masing memiliki kesatuannya, yang saling mengenal akan menyatu dan yang berseteru akan berpisah (H.R. Muslim dari Abi Hurairah)
Cinta secara umum diartikan sebagai kecenderungan hati pada sesuatu; cinta lahir karena adanya sifat-sifat yang didambakan oleh si pencinta yang melekat pada subyek yang dicintainya dan yang terasa olehnya (pencinta). Semakin banyak sifat-sifat itu dan semakin terasa (kehadirannya) semakin kuat dan dalam pula “cinta” si pencinta kepada subyek.
Definisi lain mengatakan cinta adalah dialog dan pertemuan antara dua “aku” serta hubungan timbal balik yang melahirkan tanggungjawab kedua aku itu. Dalam karya ini Quraish menyebut empat strata cinta. Terjadi salah paham ketika orang menyebut cinta pada pandangan pertama, padahal menurut Quraish ia hanyalah simpati. Jadi simpati merupakan tahap pra-cinta fase I.
Fase I: Pada fase ini kedua pihak merasakan ada atau tidaknya kedekatan antara mereka berdua. Kedekatan ini bisa ditelusuri dari kemiripan (kedekatan) psikologis, sosiologis, keadaan ekonomi, latar pendidikan, strata sosial, agama, yang merujuk kepada hobi, perilaku, dll. Dalam tradisi Islam hal ini disebut “kafa’ah.”(kesetaraan).
Fase II: Merupakan fase pengungkapan diri (self revelation). Setelah keduanya merasakan adanya kedekatan, masing-masing pihak merasakan ketenangan dan rasa aman untuk berbicara tentang dirinya lebih dalam lagi, menyangkut: dirinya, keluarganya, cita-citanya, hobi dan kegemarannya, meski pada hal-hal tertentu ada yang ditutup-tutupi karena “pencinta” takut kalau subyek yang dicintainya “pergi” jika ia mengetahui kelemahan dan kekurangan dirinya.
Fase III: Fase saling ketergantungan (mutual dependencies). Pada fase ini masing-masing mengandalkan bantuan yng dicintainya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadinya, karena masing-masing merasa dari dalam lubuk hati yang terdalam bahwa ia memerlukan pasanganya dalam kegembiraan dan kesedihannya.
Fase IV: Fase pemenuhan kebutuhan diri kekasihnya; dan ini akan mencapai puncaknya ketika seseorang mengorbankan segala yang dimilikinya demi kebutuhan kekasihnya sekaligus juga kebutuhan emosional baginya.
Nampak Quraish menjelaskan tahap-tahap di atas hanya untuk dua insan yang saling mencinta, bukan untuk keadaan di mana hanya satu pihak yang mencinta, sedang yang lain tidak menyadari sebagai ‘obyek’ cinta, maupun obyek memang tidak peduli. Demikian juga di luar konteks ini, cinta seseorang kepada uang, rumah, kendaraan dll (benda) karena subyek yang dicintai tidak memiliki “aku” (ego).
Agak susah untuk menangkap isi buku ini karena buku ini merupakan pesan-pesan untuk anaknya yang ditulis secara sendiri-sendiri sehingga tidak jarang terjadi pengulangan baik ayat, Hadits, maupun referensi yang lain. Selebihnya merupakan pesan-pesan dan nasehat yang ditujukan bagi mereka yang hendak, atau sedang membina cinta dan hubungan rumah tangga.
Cinta secara umum diartikan sebagai kecenderungan hati pada sesuatu; cinta lahir karena adanya sifat-sifat yang didambakan oleh si pencinta yang melekat pada subyek yang dicintainya dan yang terasa olehnya (pencinta). Semakin banyak sifat-sifat itu dan semakin terasa (kehadirannya) semakin kuat dan dalam pula “cinta” si pencinta kepada subyek.
Definisi lain mengatakan cinta adalah dialog dan pertemuan antara dua “aku” serta hubungan timbal balik yang melahirkan tanggungjawab kedua aku itu. Dalam karya ini Quraish menyebut empat strata cinta. Terjadi salah paham ketika orang menyebut cinta pada pandangan pertama, padahal menurut Quraish ia hanyalah simpati. Jadi simpati merupakan tahap pra-cinta fase I.
Fase I: Pada fase ini kedua pihak merasakan ada atau tidaknya kedekatan antara mereka berdua. Kedekatan ini bisa ditelusuri dari kemiripan (kedekatan) psikologis, sosiologis, keadaan ekonomi, latar pendidikan, strata sosial, agama, yang merujuk kepada hobi, perilaku, dll. Dalam tradisi Islam hal ini disebut “kafa’ah.”(kesetaraan).
Fase II: Merupakan fase pengungkapan diri (self revelation). Setelah keduanya merasakan adanya kedekatan, masing-masing pihak merasakan ketenangan dan rasa aman untuk berbicara tentang dirinya lebih dalam lagi, menyangkut: dirinya, keluarganya, cita-citanya, hobi dan kegemarannya, meski pada hal-hal tertentu ada yang ditutup-tutupi karena “pencinta” takut kalau subyek yang dicintainya “pergi” jika ia mengetahui kelemahan dan kekurangan dirinya.
Fase III: Fase saling ketergantungan (mutual dependencies). Pada fase ini masing-masing mengandalkan bantuan yng dicintainya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadinya, karena masing-masing merasa dari dalam lubuk hati yang terdalam bahwa ia memerlukan pasanganya dalam kegembiraan dan kesedihannya.
Fase IV: Fase pemenuhan kebutuhan diri kekasihnya; dan ini akan mencapai puncaknya ketika seseorang mengorbankan segala yang dimilikinya demi kebutuhan kekasihnya sekaligus juga kebutuhan emosional baginya.
Nampak Quraish menjelaskan tahap-tahap di atas hanya untuk dua insan yang saling mencinta, bukan untuk keadaan di mana hanya satu pihak yang mencinta, sedang yang lain tidak menyadari sebagai ‘obyek’ cinta, maupun obyek memang tidak peduli. Demikian juga di luar konteks ini, cinta seseorang kepada uang, rumah, kendaraan dll (benda) karena subyek yang dicintai tidak memiliki “aku” (ego).
Agak susah untuk menangkap isi buku ini karena buku ini merupakan pesan-pesan untuk anaknya yang ditulis secara sendiri-sendiri sehingga tidak jarang terjadi pengulangan baik ayat, Hadits, maupun referensi yang lain. Selebihnya merupakan pesan-pesan dan nasehat yang ditujukan bagi mereka yang hendak, atau sedang membina cinta dan hubungan rumah tangga.
"Perumpamaan" Relasi Hamba-Tuhan"
Relasi antara hamba(‘abd) dengan Tuhannya (ma‘bud) diumpamakan seperti dua hal. Pertama,Sebagaimana gelombang cahaya, sinar matahari akan sampai dan diserap bumi jika langit berawan tanpa kabut. Kabut-kabut atau noda-noda di daerah atmosphere bumi akan menghalangi masuknya cahaya matahari. Demikian juga kotoran-kotoran dalam hati seorang hamba akan membuat cahaya Ilaahi tidak dapat diterima secara penuh dan jernih oleh hati. Demikian juga seorang hamba yang kafir yang tidak mengakui adanya Tuhan, secara otomatis cahaya tidak akan masuk dalam hatinya, karena hatinya telah menyangkal adanya cahaya itu sendiri. Kedua, Laksana alam jagad raya. Tuhan adalah sumber kehidupan (ruhani). Hati yang hidup akan selalu mendapatkan siraman air penyejuk dahaga kalbu dari sumber mata air kehidupan. Sementara hati yang sakit, disebabkan ia jarang mendapatkan siraman air dari mata air kehidupan, karena ia jarang berdzikir. Sedangkan orang –orang yang ingkar berdzikir, maka hatinya akan mati, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits seseorang yang tidak ‘berdzikir’ selama 40 hari, maka hatinya akan keras membatu.
Ketika seseorang mendawamkan dzikir, maka ia harus menciptakan suatu kondisi agar dzikirnya benar-benar membekas dalam dirinya. Agar dirinya konsen dzikir pada Tuhannya, maka seorang mudzakkir harus melupakan hal-hal selain-Nya, minimal mengurangi memikirkan hal-hal lain yang tidak berguna. Salah satunya adalah dengan puasa. Dengan puasa, seseorang akan menjauhi makanan, minuman, hal duniawi, dan nafsu angkara lainnya karena ia membatalkan puasa. Diri (ego, atau khudi dalam bahasa Iqbal) secara otomatis akan berusaha menjauhinya, meski pada awalnya takut membatalkan puasa, tapi fokus tujuan akhirnya adalah Allah semata. Dan diri termotivasi untuk melakukan itu.
Ketika seseorang mendawamkan dzikir, maka ia harus menciptakan suatu kondisi agar dzikirnya benar-benar membekas dalam dirinya. Agar dirinya konsen dzikir pada Tuhannya, maka seorang mudzakkir harus melupakan hal-hal selain-Nya, minimal mengurangi memikirkan hal-hal lain yang tidak berguna. Salah satunya adalah dengan puasa. Dengan puasa, seseorang akan menjauhi makanan, minuman, hal duniawi, dan nafsu angkara lainnya karena ia membatalkan puasa. Diri (ego, atau khudi dalam bahasa Iqbal) secara otomatis akan berusaha menjauhinya, meski pada awalnya takut membatalkan puasa, tapi fokus tujuan akhirnya adalah Allah semata. Dan diri termotivasi untuk melakukan itu.
Langganan:
Postingan (Atom)